Advertise Here

Sunday, September 20, 2020

Unknown

TEORI MOTIVASI DOUGLAS Mc. GREGOR DALAM KONTEKS PENDIDIKAN

 

PEMBAHASAN TEORI MOTIVASI

DOUGLAS Mc. GREGOR DALAM KONTEKS PENDIDIKAN

 

Awalnya, Mc. Gergor menerapkan teori motivasi “X” dan “Y” di lingkungan industri. Ia tidak hanya menemukan kegunaan dalam menyusun tata observasinya, tetapi ternyata data itu secara retroaktif merupakan sumber pengesahan dan pembuktian atas teori itu. Dari bidang inilah, dan bukan dari laboratorium dukungan empiris mengenai teori ini diperoleh (Maslow, 1993).

Teori ini menggabungkan kedua sumber motivasi, yakni motivasi internal dan motivasi eksternal (Hick, 1995). Dalam teori ini, motivasi eksternal dimanifestasikan dalam asumsi yang dibuat oleh manajer mengenai sifat-sifat bawahannya. Dalam konteks pendidikan, sebut saja manajer sebagai guru atau tenaga pendidik, dan bawahan sebagai peserta didik.  Hal tersebut menentukan bagaimana seorang guru atau tenaga pendidik mempelajari sifat-sifat peserta didik yang menentukan bagaimana cara memotivasinya agar mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.

Dari cara guru memahami sifat-sifat peserta didik, asumsinya guru merupakan penyebab bagi tingkah laku siswa atau peserta didik. Anggapan tentang X atau Y dalam teori ini akan mempengaruhi bagaimana guru memberikan model pengajaran dan memotivasi peserta didiknya, yang berakibat pada prestasi peserta didik.

Mc. Gregor mengajukan 2 alternatif mengenai kepribadian manusia. Yang pertama disebut Teori X. Asumsi teori X adalah sebagai berikut :

1.    Sudah menjadi sifatnya manusia rata-rata mempunyai suatu perasaan yang tidak menyukai suatu pekerjaan dan akan menghindarinya jika dapat.

2.    Disebabkan oleh sifat-sifat khusus manusia yang tidak menyukai pekerjaan, kebanyakan orang harus dipaksa, dikendalikan, diatur dan diancam dengan hukuman agar mereka terdorong untuk meraih tujuan.

3.    Manusia rata-rata menjadi lebih suka diatur, berusaha menghidarkan tanggungjawab, secara relatif memiliki sedikit ambisi, menghendaki keamanan/ jaminan hidup atas segalanya[1].

Pendeknya, teori X menjelaskan bahwa pada dasarnya mengatakan bahwa manusia memiliki ciri-ciri negatif (Siagian, 2005).

Pandangan Mc. Gregor lainnya mengenai sifat dasar manusia disebut teori Y yang berisikan asumsi yang ia percaya mampu untuk membimbing kepada motivasi yang lebih besar dan meningkatkan pemenuhan kedua kepentingan yaitu individu dan tujuan organisasi. Asumsi teori Y adalah sebagai berikut :

1.    Mereka memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya beristirahat dan bermain.

2.    Mereka akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu banyak diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri.

3.    Pada umumnya mereka akan menerima tanggung jawab yang lebih besar.

4.    Mereka akan berusaha menunjukkan kreativitasnya dan oleh karena itu akan berpendapat bahwa mengambil keputusan merupakan tanggung jawab mereka juga [2].

Pada dasarnya teori Y mengatakan bahwa manusia memiliki ciri-ciri positif (Siagian, 2005).

Dalam pendidikan, seorang guru atau tenaga pendidik yang menganut anggapan teori X, akan memiliki model pembelajaran yang cenderung otokratik dan lebih suka mengatur. Sebaliknya, guru yang mengikuti teori Y akan lebih menyukai model pembelajaran yang partisipatif dan demokratis (Handoko, 2011).

Dasar teori Y yang terpenting adalah integrasi – pembentukan suatu lingkungan dimana (dalam konteks ini peserta didik) dapat berprestasi dengan sebaik-baiknya mengenai tujuan mereka. Dengan cara tersebut, teori ini menitikberatkan pada tingkat motivasi internal yang besar. Tekanan yang berat pada motivasi internal dimaksudkan agar semua peserta didik termotivasi oleh kepentingan penghargaan untuk diri sendiri dalam mengerjakannya. Namun perlu diingat bahwa peserta didik memiliki keunikan tersendiri yang berbeda-beda, oleh karena itu motivasi ekternal perlu dilakukan karena memiliki tingkat kefleksibelan untuk menyesuaikan setiap individu yang berbeda dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Apabila dikaitkan dengan teori Maslow akan terlihat gejala bahwa mereka yang tergolong sebagai manusia “X” akan lebih mementingkan pemuasan kebutuhan “tingkat rendah”, seperti pemuasan kebutuhan pokok dan kurang memberikan perhatian pada kebutuhan aktualisasi diri. Sebaliknya, yang terjadi pada tipe “Y” pemuasan kebutuhan yang sifatnya psikologis lebih diutamakan daripada pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang besifat kebendaan (Siagian, 2005).

Kedua pandangan teori tersebut mempengaruhi cara memotivasi peserta didik. Banyak anak yang tidak berkembang karena tidak memperoleh motivasi yang tepat (Hamzah 2007). Jika seseorang  mendapat motivasi yang tepat, maka hasil akan tercapai. Teori tokoh satu dengan yang lain pada dasarnya saling melengkapi, sesuai dengan situasi dan kondisi seseorang (Purwanto, 2011). Pada akhirnya, dalam pendidikan hendaknya tidak memberikan sugesti negatif yang membuat peserta didik rendah diri dan tidak men-judge anak dengan asusmsi teori X menggunakan labelling-labelling yang menghambat motivasi dan aktualisasi peserta didik.

 

BAB III

TERAPAN TEORI MOTIVASI

DOUGLAS Mc. GREGOR DALAM PENDIDIKAN

 

Motivasi merupakan aspek yang sangat penting dari pembelajaran. Apa dan seberapa banyak hal-hal yang dipelajarai akan dipengaruhi oleh motivasi pelajar (Santrock, 2008). Guru atau tenaga pendidik sebagai sosok yang sangat berperan dalam memotivasi peserta didik dituntut untuk selalu memiliki inovasi bagaimana menjadikan suasana kelas yang kondusif. Selain itu, sistem pendidikan juga akan mempengaruhi hasil belajar mengajar.

Perbedaan individual yang diasumsikan dalam teori X dan Y perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pengajaran di kelas. Banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan untuk memahami perbedaan individual, mulai dari kecerdasan sampai pada aspek psikologis lainnya.

Perlakuan terhadap peserta didik yang diasumsikan pada teori X, hendaknya menggunakan pendekatan yang tegas namun tidak memberikan sugesti negatif dan labelling yang justru membuat peserta didik rendah diri. Untuk murid yang berprestasi rendah; guru harus membantu mereka untuk mencapai tujuan belajar dan beri dukungan untuk mencapai tujuan itu,  mendorong peserta didik untuk bekerja keras dan membuat kemajuan. Untuk murid yang memiliki sindrom kegagalan atau yang pernah mengalami kegagalan dan enggan untuk bangkit; dorong mereka untuk berpikir positif dan memahami apa yang menyebabkan mereka gagal, kemudian membantu memberikan solusi terbaik. Dan bagi murid atau peserta didik yang cenderung pasif dan melindungi harga diri dengan tidak mau bekerja keras, malas dan cenderung melakukan hal-hal yang membuatnya merasa “aman”, hendaknya guru memberi tugas yang memancing rasa ingin tahu mereka, beri motivasi ekstrinsik berupa imbalan pada semua kategori murid jika ia menunjukkan progress dalam belajar, dorong murid untuk memegang keyakinan positif terhadap kemampuan mereka sendiri, menekankan peran guru sebagai pembimbing dan mendukung usaha pembelajaran murid, bukan sebagai figur otoriter yang hanya mengontrol perilaku peserta didik (Santrock, 2008).

Sebaliknya, perlakuan terhadap peserta didik yang diasumsikan pada kriteria teori Y, perkuat motivasi intrinsik dan dorongan untuk mengaktualisasikan dirinya dengan motivasi ekstrinsik berupa suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan, hadiah atau penghargaan yang tepat, pujian bahwa mereka kompeten dan menghidarkan murid dari kelelahan berlebih pada fisik maupun mental.

Secara keseluruhan, perlakuan terhadap asumsi teori X maupun Y harus diterapkan dalam situasi pembelajaran dengan cara yang tepat. Karena perbedaan individu pasti akan selalu ada, maka solusi mewadahi kedua teori, yakni X dan Y untuk memecahkan masalah tersebut dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar dengan cara :

1.    Memberikan waktu istirahat yang cukup agar peserta didik tidak mengalami kejenuhan belajar yang berdampak pada turunnya motivasi.

2.    Walaupun jarang diterapkan, membiarkan peserta didik mengawali hari dengan pelajaran yang paling disukai, akan menguatkan motivasi mereka dalam belajar dan membuat mereka semangat untuk berangkat ke sekolah.

3.    Pengubahan atau penataan kembali lingkungan belajar siswa yang meliputi posisi meja (bangku), rak buku dll. Sampai memungkinkan siswa merasa berada di kamar baru yang lebih menyenangkan.

4.    Memberikan motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat daripada sebelumnya [3].

Selain beberapa cara diatas, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi intrinsik, sehingga peserta didik beranggapan bahwa apa yang akan mereka lakukan bukan karena imbalan eksternal. Cara ini mempromosikan determinasi diri dan siswa memiliki pilihan sendiri dalam melakukan tanggung jawabnya, yakni antara lain :

1.    Luangkan waktu. Luangkan waktu untuk berbicara dengan murid dan jelaskan mengapa aktivitas pembelajaran yang harus mereka lakukan adalah penting.

2.    Bersikap penuh perhatian. Perhatikan perasaan murid saat mereka disuruh untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan.

3.    Kelola kelas dengan efektif. Usahakan agar murid bisa membuat pilihan personal. Biarlah murid memilih topok sendiri, tugas menulis dan proyek riset sendiri. Beri mereka pilihan dalam  cara melaporkan tugas mereka.

4.    Ciptakan putsat pembelajaran. Murid dapat belajar sendiri atau secara kolaboratif dengan murid lain untuk proyek yang berbeda. Murid  dapat memilik aktivitas yang mereka lakukan.

5.    Bentuk kelompok minat. Bagi murid ke dalam kelompok minat dan biarkan mereka megerjakan tugas riset yang relevan dengan minat mereka[4].

6.    Buat program yang menyenangkan dan libatkan mereka untuk menentukan kegiatan di luar jam pelajaran. Misal; Sehari berbahasa Inggris, mengadakan program rutin saat liburan semester dll.

Banyak hal yang perlu dilakukan untuk membuat peserta didik menikmati pembelajaran yang efektif. Inovasi dan pemikiran kreatif harus selalu dikembangkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam hal berprestasi dan keterampilan lainnya.

 

 



[1] Douglas Mc. Gregor. The Human Side  of Enterprise. Mc. Graw Hill. New York. 1960

[2] Sondang P. Siagian. Fungsi-Fungsi Manajerial : Edisi Revisi. Bumi Aksara, Jakarta. 2005

[3] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan : Suatu Pendekatan Baru. Remaja Rosdakarya, Bandung. 1995

[4] John W. Santrock. Psikologi Pendidikan. Kencana, Jakarta. 2008

Unknown

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN MENURUT ALBERT BANDURA

 

PSIKOLOGI KEPRIBADIAN

TEORI KEPRIBADIAN MENURUT ALBERT BANDURA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    LATAR BELAKANG

Banyak sekali teori yang mengemukakan tentang kepribadian, akan tetapi dalam pembahasan makalah ini hanya akan membahas mengenai teori kepribadian Behavioristik,  Albert Bandura. Teori belajar social merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi member lebih banyak penekanan pada pesan dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran social kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar social, manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipukul oleh stimulus-stimulus lingkungan.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini antaralain;

1.      Apa yang dimaksud dengan teori kepribadian Behavioristik,  Albert Bandura?

2.      Apa yang dimaksud struktur kepribadian menurut Bandura?

3.      Apa dampak belajar menurut teori Albert Bandura?

4.      Apa faktor-faktor penting dalam belajar melalui observasi menurut Bnadura?

C.     TUJUAN

1.      Mengetahui dimaksud dengan teori kepribadian Behavioristik,  Albert Bandura

2.      Mengetahui dimaksud struktur kepribadian menurut Bandura

3.      Mengetahui dampak belajar menurut teori Albert Bandura

4.      Mengetahui faktor-faktor penting dalam belajar melalui observasi menurut Bnadura

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Teori belajar social menurut Albert Bandura

Penelitian bandura berfokus pada observasi mengenai perilaku manusia dalam interaksi. Ia tidak menggunakan introspeksi,tetapi menekankan pada peran penguatan (reinforcement) dalam memperoleh dan modifikasi perilaku. Sistem bandura adalah kognitif,respons perilaku tidak secara otomatis dipicu oleh stimuli eksternal sehingga seperti robot atau mesin.reaksi terhadap stimulus itu aktif sendiri (self-activated).

Salah satu buku bandura adalah Social Learning Theory. Menurut bandura perilaku dibentuk melalui model atau observasi. Karena itu,teorinya juga disebut sebagai teori belajar observasional (observational learning theory),yang merupakan bentuk pembelajaran asosiatif (associative learning). Penguat dipandang sebagai respons fasilitator karena diperoleh nilai penguat yang positif. Teori bandura juga sering disebut teori hubungan stimulus-mediasional (mediational-stimulus contiguity theory).

 

Teori belajar sosial dari bandura didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism),tanpa penguatan (beyond reinforcement),dan pengaturan diri/berfikir (self regulation/cognition).

1.                  Determinis resiprokal: pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif,behavioral dan lingkungan. Determinis resiplokal adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial bandura,menjadi pijakan bandura dalam memahami tingkah laku.

2.                  Tanpa reinforsemen:bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforsemen.jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direinforse satu persatu,bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya,reinforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi/tidak,tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkahlaku, orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya.belajar melalui observasi tanpa ada reinforsemen yang terlibat,berarti tingkahlaku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi,itu merupakan pokok teori belajar sosial.

3.                  Kognisi dan regulasi diri: konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation),mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan,menciptakan dukungan kognitif,mengadakan konsekuensi bagi tingkahlakunya sendiri.

 

Teori belajar Bandura tentang kepribadian didasarkan kepada formula bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil interaksi timbal balik yang terus menerus antara faktor-faktor penentu : 

a.                   Internal (kognisi, persepsi, dan faktor lainnya yang mempengaruhi kegiatan manusia)

b.                  Eksternal (lingkungan).

Proses ini disebut “reciprocal determinism”, dalam mana manusia memepengaruhi nasibnya dengan mengontrol kekuatan lingkungan, tetapi mereka juga dikontrol oleh kekuatan-kekuatan lingkungan tersebut. Interaksi diantara faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

P

 
 


P             = Person (faktor Internal)

E              = Environment (faktor eksternal)

B             = Behavior

 

E

 

B

 
 

 

 

 

 

 

Gmbr. Interaksi antara Person, Environment, dan Behavior

 

            Teori belajar social menempatkan “reciprocal determinism” sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psikososial dalam berbagai tingkat yang kompleks, terentang dari perkembangan intrapersonal, tingkah laku interpersonal, fungsi interaksi organisasi sampai ke system social.

 

Struktur Kepribadian

Sistem self(self system)

Bandura yakin bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determinan tingkahlaku tidak dapat dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan dan kekuatan peramalan.dengan kata lain,self diakui sebagai unsur struktur kepribadian.sistem self itu bukan unsur psikis yang mengontrol tingkah laku,tetapi mengacu ke struktur kognitif yang memberi pedoman mekanisme dan seperangkat fungsi-fungsi persepsi,evaluasi,dan pengaturan tingkah laku. Pengaruh self tidak otomatis/mengatur tingkah laku secara otonom,tetapi self menjadi bagian dari sistem interaksi resiprokal.

Regulasi Diri

Ada 3 proses yang dapat dipakai untuk melakukan pengaturan diri: memanipulasi faktor eksternal,memonitor dan mengevaluasi tingkahlaku internal. Tingkahlaku manusia adalah hasil pengaruh resiprokal faktor eksternal dan faktor internal itu.

Faktor eksternal dalam regulasi diri

Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara,pertama faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkahlaku.faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi,membentuk standar evaluasi diri seseorang. Kedua,faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement).hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan,orang membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkahlaku dan penguat biasanya bekerjasama; ketika orang dapat mencapai standar tingkahlaku tertentu,perlu penguatan agar tingkahlaku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.

Faktor internal dalam regulasi diri

  1. Observasi diri: dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan,kuantitas penampilan,orisinalitas tingkahlaku diri,dst. Orang harus mampu memonitor performansinya,walaupun tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkahlakunya dan mengabaikan tingkahlaku lainnya.apa yang diobservasi seseorang tergantung kepada minat dan konsep dirinya.
  2. Proses penilaian/mengadili tingkah laku:melihat kesesuaian tingkahlaku dengan standar pribadi,membandingkan tingkahlaku dengan norma standar/dengan tingkah laku orang lain,menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas dan memberi atribusi performansi.

3.                   Reaksi-diri-afektif (self response):akhirnya berdasarkan pengamatan dan judgement itu,orang mengevaluasi diri sendiri positif/negatif,dan kemudian menghadiahi/menghukum diri sendiri. Bisa terjadi tidak muncul reaksi afektif,karena fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif/negatif menjadi kurang bermakna secara individual.

Efikasi diri (self effication)

Bagaimana orang bertingkahlaku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif,khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu/tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan.bandura

menyebut keyakinan/harapan diri ini sebagai efikasi diri,dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil.

  1. Efikasi diri/efikasi ekspektasi (self effication-efficacy expectation) adalah “persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu”. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
  2. Ekspektasi hasil (outcome expectations):perkiraan/estimasi diri bahwa tingkahlaku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.

Efikasi adalah penilaian diri,apakah dapat melakukan tindakan yang baik/buruk,tepat/salah,bisa/tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi(cita-cita),karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai),sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri.

Sumber efikasi diri

Perubahan tingkahlaku,dalam sistem bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efkasi diri). Efikasi diri/keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh,diubah,ditingkatkan/diturunkan melalui salah satu/kombinasi empat sumber yakni pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accomplishment),pengalaman vikarius (vicarious experience),persuasi sosial (social persuation),dan pembangkitan emosi (emotionall physiological states).

Pengalaman performasi

Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber,performansi masa lalu menjadi pengubah efiaksi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi,sedang kegagalan akan menurunkan efikasi.mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-beda,tergantung proses pencapaiannya            :

1.      Semakin sulit tugasnya,keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi.

2.      Kerja sendiri,lebih meningkatkan efikasi dibandingkan kerja kelompok,dibantu oranglain.

3.      Kegagalan menurunkan efikasi,kalau orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin.

4.      Kegagalan dalam suasana emosional/stress,dampaknya tidak seburuk kalau kondisinya

optimal.

5.      Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat,dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat.

6.      Orang yang biasa berhasil,sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi.

 

Pengalaman vikarius

Diperoleh melalui model sosial.efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain,sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar.sebaliknya ketika mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya,bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama.

Persuasi sosial

Efikasi diri juga dapat diperoleh,diperkuat,atau dilemahkan melalui persuasi sosial.dampak dari sumber ini terbatas,tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari oranglain dapat mempengaruhi efikasi diri.kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi,dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.

Keadaan emosi

Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi dibidang kegiatan itu.emosi yang kuat,takut,cemas,stress,dapat mengurangi efikasi diri.namun bisa terjadi,peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efiasi diri.

Efikasi diri sebagai prediktor tingkahlaku

Menurut bandura,sumber pengontrol tingkahlaku adalah resiprokal antara lingkungan,tingkahlaku,dan pribadi.efikasi diri merupakan variabel pribadi yang penting,yang kalau digabung dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman mengenai prestasi,akan menjadi penentu tingkahlaku mendatang yang penting.berbeda dengan konsep diri (Rogers) yang bersifat kesatuan umum,efikasi diri bersifat fragmental.setiap individu mempunyai efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda,tergantung kepada           :

1.      Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu.

2.      Kehadiran orang lain , khususnya saingan dalam situasi itu.

3.      Keadaan fisiologis dan emosional misal kelelahan,kecemasan,apatis,murung.

Efikasi yang tinggi/rendah,dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif/tidak responsif.

Efikasi kolektif (collective efficacy)

Keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat menghasilkan perubahan sosial tertentu,disebut efikasi kolektif.ini bukan “jiwa kelompok” tetapi lebih sebagai efikasi pribadi dari banyak orang yang bekerjasama. Bandura berpendapat,orang berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya melalui efikasi diri individual,tetapi juga melalui efikasi kolektif.

 

Dampak belajar

Konsekuensi dari suatu respon mempunyai 3 fungsi:

1.      Pemberi informasi

Memberi informasi mengenai dampak dari tingkahlaku,informasi ini dapat disimpan untuk dipakai membimbing tingkahlaku pada masa yang akan datang.

2.      Memotivasi tingkah laku yang akan datang

Menyajikan data sehingga orang dapat membayangkan secara simbolik hasil tingkahlaku yang akan dilakukannya,dan bertingkahlaku sesuai dengan peramalan-peramalan yang dilakukannya. Dengan kata lain,tingkahlaku ditentukan/dimotivasi oleh masa yang akan datang,dimana pemahaman mengenai apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang itu diperoleh dari pemahaman mengenai konsekuensi suatu tingkahlaku.

3.      Penguat tingkahlaku

Keberhasilan akan menjadi penguat sehingga tingkahlaku menjadi berpeluang diulang,sebaliknya kegagalan akan membuat tingkahlaku cenderung tidak diulang.

 

Faktor-faktor penting dalam belajar melalui observasi

Menurut Bandura ada 4 proses yang penting agar belajar melalui observasi dapat terjadi yaitu:

1.      Perhatian (attention process)

Sebelum meniru oranglain,perhatian harus dicurahkan ke orang itu.perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya,sifat model yang atraktif,dan arti penting tingkahlaku yang diamati bagi si pengamat.

  1. Representasi(representation process)

Tingkahlaku yang akan ditiru,harus disimbolisasikan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal/dalam bentuk gambaran atau imajinasi.representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkahlaku yang diamati,dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan.representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik dalam pikiran,tanpa benar-benar melakukannya secara fisik.

  1. Peniruan tingkahlaku model (behavior production process)

Sesudah mengamati dengan penuh perhatian,dan memasukkannya ke dalam ingatan,orang lalu bertingkahlaku.mengubah dari gambaran pikiran menjadi tingkahlaku menimbulkan kebutuhan evaluasi “bagaimana melakukannya?” “apa yang harus dikerjakan?” :apakah sudah benar?”. Berkaitan dengan kebenaran,hasil belajar melalui observasi tidak dinilai berdasarkan kemiripan respon dengan tingkahlaku yang ditiru,tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi dari pebelajar.

  1. Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process)

Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau pebelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkahlaku modelnya.observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkahlaku tertentu,tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada,tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tingkahlaku model yang diganjar,daripada tingkahlaku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar,sepanjang pengamat melihat model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil,sehingga diyakini model umumnya akan diganjar.

Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usia,status sosial,seks,keramahan,dan kemampuan, penting dalam menentukan tingkat imitasi.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    KESIMPULAN

    Teori belajar sosial dikenalkan oleh Albert Bandura, yang mana konsep dari teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model). Orang belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan lingkungannya.

Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak tentang perilaku melalui peniruan/modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan. Albert Bandura,mengemukakan bahwa teori pembelajaran sosial membahas tentang bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning,cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity.

Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.

Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan atau modeling Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :

1.      Perhatian (attention process)

Sebelum meniru oranglain,perhatian harus dicurahkan ke orang itu.perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya,sifat model yang atraktif,dan arti penting tingkahlaku yang diamati bagi si pengamat.

2.      Representasi(representation process)

Tingkahlaku yang akan ditiru,harus disimbolisasikan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal/dalam bentuk gambaran atau imajinasi.representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkahlaku yang diamati,dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan.representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik dalam pikiran,tanpa benar-benar melakukannya secara fisik.

3.      Peniruan tingkahlaku model (behavior production process)

Sesudah mengamati dengan penuh perhatian,dan memasukkannya ke dalam ingatan,orang lalu bertingkahlaku.mengubah dari gambaran pikiran menjadi tingkahlaku menimbulkan kebutuhan evaluasi “bagaimana melakukannya?” “apa yang harus dikerjakan?” :apakah sudah benar?”. Berkaitan dengan kebenaran,hasil belajar melalui observasi tidak dinilai berdasarkan kemiripan respon dengan tingkahlaku yang ditiru,tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi dari pebelajar.

4.      Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process)

Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau pebelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkahlaku modelnya.observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai tingkahlaku tertentu,tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada,tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tingkahlaku model yang diganjar,daripada tingkahlaku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar,sepanjang pengamat melihat model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil,sehingga diyakini model umumnya akan diganjar.

Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usia,status sosial,seks,keramahan,dan kemampuan, penting dalam menentukan tingkat imitasi.

 

 

REFERENSI

 

Alwiso. Psikologi Kepribadian

Howard s. friedman dan Mariam w. schustack. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Erlangga

Syamsu yusuf dkk. Teori Kepribadian. Rosda