PEMBAHASAN TEORI MOTIVASI
DOUGLAS Mc. GREGOR DALAM
KONTEKS PENDIDIKAN
Awalnya,
Mc. Gergor menerapkan teori motivasi “X” dan “Y” di lingkungan industri. Ia
tidak hanya menemukan kegunaan dalam menyusun tata observasinya, tetapi
ternyata data itu secara retroaktif merupakan sumber pengesahan dan pembuktian
atas teori itu. Dari bidang inilah, dan bukan dari laboratorium dukungan
empiris mengenai teori ini diperoleh (Maslow, 1993).
Teori
ini menggabungkan kedua sumber motivasi, yakni motivasi internal dan motivasi
eksternal (Hick, 1995). Dalam teori ini, motivasi eksternal dimanifestasikan
dalam asumsi yang dibuat oleh manajer mengenai sifat-sifat bawahannya. Dalam
konteks pendidikan, sebut saja manajer sebagai guru atau tenaga pendidik, dan
bawahan sebagai peserta didik. Hal
tersebut menentukan bagaimana seorang guru atau tenaga pendidik mempelajari
sifat-sifat peserta didik yang menentukan bagaimana cara memotivasinya agar mencapai
tujuan pendidikan yang diinginkan.
Dari
cara guru memahami sifat-sifat peserta didik, asumsinya guru merupakan penyebab
bagi tingkah laku siswa atau peserta didik. Anggapan tentang X atau Y dalam
teori ini akan mempengaruhi bagaimana guru memberikan model pengajaran dan
memotivasi peserta didiknya, yang berakibat pada prestasi peserta didik.
Mc.
Gregor mengajukan 2 alternatif mengenai kepribadian manusia. Yang pertama
disebut Teori X. Asumsi teori X adalah sebagai berikut :
1. Sudah menjadi sifatnya manusia rata-rata
mempunyai suatu perasaan yang tidak menyukai suatu pekerjaan dan akan
menghindarinya jika dapat.
2. Disebabkan oleh sifat-sifat khusus manusia yang
tidak menyukai pekerjaan, kebanyakan orang harus dipaksa, dikendalikan, diatur
dan diancam dengan hukuman agar mereka terdorong untuk meraih tujuan.
3. Manusia rata-rata menjadi lebih suka diatur,
berusaha menghidarkan tanggungjawab, secara relatif memiliki sedikit ambisi,
menghendaki keamanan/ jaminan hidup atas segalanya[1].
Pendeknya, teori X menjelaskan
bahwa pada dasarnya mengatakan bahwa manusia memiliki ciri-ciri negatif (Siagian,
2005).
Pandangan
Mc. Gregor lainnya mengenai sifat dasar manusia disebut teori Y yang berisikan
asumsi yang ia percaya mampu untuk membimbing kepada motivasi yang lebih besar
dan meningkatkan pemenuhan kedua kepentingan yaitu individu dan tujuan
organisasi. Asumsi teori Y adalah sebagai berikut :
1. Mereka memandang kegiatan bekerja sebagai hal
yang alamiah seperti halnya beristirahat dan bermain.
2. Mereka akan berusaha melakukan tugas tanpa
terlalu banyak diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri.
3. Pada umumnya mereka akan menerima tanggung
jawab yang lebih besar.
4. Mereka akan berusaha menunjukkan kreativitasnya
dan oleh karena itu akan berpendapat bahwa mengambil keputusan merupakan tanggung
jawab mereka juga [2].
Pada dasarnya teori Y
mengatakan bahwa manusia memiliki ciri-ciri positif (Siagian, 2005).
Dalam
pendidikan, seorang guru atau tenaga pendidik yang menganut anggapan teori X,
akan memiliki model pembelajaran yang cenderung otokratik dan lebih suka
mengatur. Sebaliknya, guru yang mengikuti teori Y akan lebih menyukai model
pembelajaran yang partisipatif dan demokratis (Handoko, 2011).
Dasar
teori Y yang terpenting adalah integrasi – pembentukan suatu lingkungan dimana
(dalam konteks ini peserta didik) dapat berprestasi dengan sebaik-baiknya
mengenai tujuan mereka. Dengan cara tersebut, teori ini menitikberatkan pada
tingkat motivasi internal yang besar. Tekanan yang berat pada motivasi internal
dimaksudkan agar semua peserta didik termotivasi oleh kepentingan penghargaan
untuk diri sendiri dalam mengerjakannya. Namun perlu diingat bahwa peserta
didik memiliki keunikan tersendiri yang berbeda-beda, oleh karena itu motivasi ekternal
perlu dilakukan karena memiliki tingkat kefleksibelan untuk menyesuaikan setiap
individu yang berbeda dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
Apabila
dikaitkan dengan teori Maslow akan terlihat gejala bahwa mereka yang tergolong
sebagai manusia “X” akan lebih mementingkan pemuasan kebutuhan “tingkat
rendah”, seperti pemuasan kebutuhan pokok dan kurang memberikan perhatian pada
kebutuhan aktualisasi diri. Sebaliknya, yang terjadi pada tipe “Y” pemuasan
kebutuhan yang sifatnya psikologis lebih diutamakan daripada pemuasan
kebutuhan-kebutuhan yang besifat kebendaan (Siagian, 2005).
Kedua
pandangan teori tersebut mempengaruhi cara memotivasi peserta didik. Banyak
anak yang tidak berkembang karena tidak memperoleh motivasi yang tepat (Hamzah
2007). Jika seseorang mendapat motivasi
yang tepat, maka hasil akan tercapai. Teori tokoh satu dengan yang lain pada
dasarnya saling melengkapi, sesuai dengan situasi dan kondisi seseorang
(Purwanto, 2011). Pada akhirnya, dalam pendidikan hendaknya tidak memberikan
sugesti negatif yang membuat peserta didik rendah diri dan tidak men-judge anak dengan asusmsi teori X
menggunakan labelling-labelling yang
menghambat motivasi dan aktualisasi peserta didik.
BAB III
TERAPAN TEORI MOTIVASI
DOUGLAS Mc. GREGOR DALAM PENDIDIKAN
Motivasi
merupakan aspek yang sangat penting dari pembelajaran. Apa dan seberapa banyak
hal-hal yang dipelajarai akan dipengaruhi oleh motivasi pelajar (Santrock,
2008). Guru atau tenaga pendidik sebagai sosok yang sangat berperan dalam
memotivasi peserta didik dituntut untuk selalu memiliki inovasi bagaimana
menjadikan suasana kelas yang kondusif. Selain itu, sistem pendidikan juga akan
mempengaruhi hasil belajar mengajar.
Perbedaan
individual yang diasumsikan dalam teori X dan Y perlu dipertimbangkan dalam
pelaksanaan pengajaran di kelas. Banyak sekali faktor yang harus
dipertimbangkan untuk memahami perbedaan individual, mulai dari kecerdasan
sampai pada aspek psikologis lainnya.
Perlakuan
terhadap peserta didik yang diasumsikan pada teori X, hendaknya menggunakan
pendekatan yang tegas namun tidak memberikan sugesti negatif dan labelling yang justru membuat peserta
didik rendah diri. Untuk murid yang berprestasi rendah; guru harus membantu
mereka untuk mencapai tujuan belajar dan beri dukungan untuk mencapai tujuan
itu, mendorong peserta didik untuk
bekerja keras dan membuat kemajuan. Untuk murid yang memiliki sindrom kegagalan
atau yang pernah mengalami kegagalan dan enggan untuk bangkit; dorong mereka
untuk berpikir positif dan memahami apa yang menyebabkan mereka gagal, kemudian
membantu memberikan solusi terbaik. Dan bagi murid atau peserta didik yang
cenderung pasif dan melindungi harga diri dengan tidak mau bekerja keras, malas
dan cenderung melakukan hal-hal yang membuatnya merasa “aman”, hendaknya guru
memberi tugas yang memancing rasa ingin tahu mereka, beri motivasi ekstrinsik
berupa imbalan pada semua kategori murid jika ia menunjukkan progress dalam belajar, dorong murid
untuk memegang keyakinan positif terhadap kemampuan mereka sendiri, menekankan
peran guru sebagai pembimbing dan mendukung usaha pembelajaran murid, bukan
sebagai figur otoriter yang hanya mengontrol perilaku peserta didik (Santrock,
2008).
Sebaliknya,
perlakuan terhadap peserta didik yang diasumsikan pada kriteria teori Y,
perkuat motivasi intrinsik dan dorongan untuk mengaktualisasikan dirinya dengan
motivasi ekstrinsik berupa suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan, hadiah
atau penghargaan yang tepat, pujian bahwa mereka kompeten dan menghidarkan
murid dari kelelahan berlebih pada fisik maupun mental.
Secara
keseluruhan, perlakuan terhadap asumsi teori X maupun Y harus diterapkan dalam
situasi pembelajaran dengan cara yang tepat. Karena perbedaan individu pasti
akan selalu ada, maka solusi mewadahi kedua teori, yakni X dan Y untuk
memecahkan masalah tersebut dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar
dengan cara :
1. Memberikan waktu istirahat yang cukup agar
peserta didik tidak mengalami kejenuhan belajar yang berdampak pada turunnya
motivasi.
2. Walaupun jarang diterapkan, membiarkan peserta
didik mengawali hari dengan pelajaran yang paling disukai, akan menguatkan
motivasi mereka dalam belajar dan membuat mereka semangat untuk berangkat ke
sekolah.
3. Pengubahan atau penataan kembali lingkungan
belajar siswa yang meliputi posisi meja (bangku), rak buku dll. Sampai
memungkinkan siswa merasa berada di kamar baru yang lebih menyenangkan.
4. Memberikan motivasi dan stimulasi baru agar
siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat daripada sebelumnya [3].
Selain
beberapa cara diatas, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
motivasi intrinsik, sehingga peserta didik beranggapan bahwa apa yang akan
mereka lakukan bukan karena imbalan eksternal. Cara ini mempromosikan
determinasi diri dan siswa memiliki pilihan sendiri dalam melakukan tanggung jawabnya,
yakni antara lain :
1. Luangkan
waktu. Luangkan waktu untuk berbicara dengan murid
dan jelaskan mengapa aktivitas pembelajaran yang harus mereka lakukan adalah
penting.
2. Bersikap
penuh perhatian. Perhatikan perasaan murid saat mereka
disuruh untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan.
3. Kelola
kelas dengan efektif. Usahakan agar murid bisa
membuat pilihan personal. Biarlah murid memilih topok sendiri, tugas menulis
dan proyek riset sendiri. Beri mereka pilihan dalam cara melaporkan tugas mereka.
4. Ciptakan
putsat pembelajaran. Murid dapat belajar sendiri atau secara
kolaboratif dengan murid lain untuk proyek yang berbeda. Murid dapat memilik aktivitas yang mereka lakukan.
5. Bentuk
kelompok minat. Bagi murid ke dalam kelompok minat dan
biarkan mereka megerjakan tugas riset yang relevan dengan minat mereka[4].
6. Buat program yang menyenangkan dan libatkan
mereka untuk menentukan kegiatan di luar jam pelajaran. Misal; Sehari berbahasa
Inggris, mengadakan program rutin saat liburan semester dll.
Banyak
hal yang perlu dilakukan untuk membuat peserta didik menikmati pembelajaran
yang efektif. Inovasi dan pemikiran kreatif harus selalu dikembangkan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan dalam hal berprestasi dan keterampilan lainnya.
[1] Douglas Mc.
Gregor. The Human Side of Enterprise. Mc. Graw Hill. New York.
1960
[2] Sondang P. Siagian. Fungsi-Fungsi
Manajerial : Edisi Revisi. Bumi Aksara, Jakarta. 2005
[3] Muhibbin Syah.
Psikologi Pendidikan : Suatu Pendekatan Baru. Remaja Rosdakarya, Bandung. 1995
[4] John W. Santrock. Psikologi Pendidikan.
Kencana, Jakarta. 2008